Agribisnis versus Agroindustri

Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran yang ada kaitannya dengan pertanian. Agribisnis merupakan kegiatan yang utuh dan tidak dapat terpisah antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya, dimulai dari proses produksi, pengolahan hasil, pemasaran, dan aktifitas lainnya yang berkaitan dengan kegiatan pertanian (Soekartawi, 1991). Dalam arti yang lebih luas agribisnis adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan yang ditunjang oleh kegiatan pertanian.
Agribisnis terbagi menjadi tiga sektor kegiatan yang memiliki saling ketergantungan secara ekonomis, yaitu sektor masukan (input), produksi (farm), dan sektor keluaran (output). Sektor masukan menyediakan perbekalan kepada para pengusaha tani untuk dapat memproduksi hasil tanaman dan ternak. Termasuk ke dalam sektor masukan adalah bibit, pakan ternak, pupuk, bahan kimia, mesin-mesin pertanian, bahan bakar, dan berbagai jenis perbekalan lainnya. Sektor usahatani memproduksi hasil tanaman dan ternak yang diproses dan didistribusikan kepada konsumen akhir oleh sektor keluaran (Downey dan Erickson, 1988).

Agroindustri adalah suatu kegiatan pengolahan bahan baku melalui transformasi menggunakan perlakuan fisik atau kimia, penyimpanan, pemasaran, dan distribusi (Hasyim dan Zakaria, 1995). Ciri penting dari agroindustri adalah kegiatannya yang tidak tergantung pada musim, memiliki manajemen usaha yang modern, skala usaha yang optimal dan efisien, serta mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi. Menurut Moelgini (1993), agroindustri merupakan bagian (subsistem) dari sistem agribisnis yang memproses dan mentransformasikan produk mentah hasil pertanian menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang dapat langsung dikonsumsi dan digunakan dalam proses produksi, di mana komponen agroindustri tersebut terdiri dari bahan mentah, bahan pembantu, tenaga kerja, modal, manajemen, teknologi dan fasilitas penunjang yang dipengaruhi oleh kebijakan dalam pelaksanaan sistem agroindustri.

Soeharjo (1990) menyatakan bahwa agroindustri umumnya memiliki kaitan erat dengan sisi hulu (input) dan hilir (pengolahan hasil), sehingga pengertiannya mencakup dua jenis pengolahan, yaitu :
  1. Industri pengolahan input pertanian yang pada umumnya tidak berlokasi di pedesaan, padat modal, dan berskala besar. Contoh : industri pupuk dan pestisida.
  2. Industri pengolahan hasil pertanian. Contoh : pengolahan pucuk teh menjadi teh hijau atau teh hitam, pengalengan buah, pengalengan minyak kelapa, dsb.
Menurut Soeharjo (1990), kegiatan agroindustri dapat berlangsung di tiga tempat, yaitu :
  1. Dalam rumah tangga yang dilakukan oleh anggota rumah tangga petani penghasil bahan baku.
  2. Dalam bangunan yang terpisah dari tempat tinggal tetapi masih dalam satu pekarangan, dengan menggunakan bahan baku yang dibeli di pasar, dan menggunakan tenaga kerja terutama dari keluarga.
  3. Dalam perusahaan kecil, sedang atau besar yang menggunakan buruh upahan dan modal yang lebih intensif dibandingkan dengan industri rumah tangga
Skala usaha ketiga macam industri pengolahan ini dapat diukur dari volume bahan baku yang diperoleh setiap hari. Teknologi yang digunakan merentang dari yang tradisional sampai dengan yang modern, sedangkan pasarnya merentang mulai dari pasar domestik sampai dengan pasar ekspor. Akan tetapi ketiga agroindustri tersebut mempunyai karakteristik yang sama yaitu menggunakan tenaga kerja dan bahan baku yang berasal dari pedesaan dan berlaku di pedesaan (Moelgini, 1993).

Pengembangan agroindustri diarahkan agar dapat tercipta keterlibatan yang erat antara sektor pertanian dan sektor industri yang dapat menumbuhkan kegiatan ekonomi, khususnya di pedesaan (Lukman, 1993). Pengembangan suatu usaha di pedesaan ditujukan untuk membantu petani dalam meningkatkan pendapatan melalui kegiatan pengolahan, sekaligus memperluas kesempatan kerja. Bertambahnya lapangan kerja akan menyerap angkatan kerja yang ada sehingga dapat mengurangi pengangguran. Agrondustri sebagai sektor bisnis tidak terlepas dari tujuan utama pelaku-pelaku usaha yaitu menigkatkan keuntungan dan nilai tambah. Oleh karena itu lingkungan usaha dan prospek pasar yang baik bagi produk agroindustri merupakan syarat mutlak untuk melakukan investasi subsektor agroindustri.

Referensi :
  • Downey, W.D. dan S.P. Erickson. 1988. Manajemen Agribisnis. Erlangga. Jakarta. 514 hal.
  • Hasyim, H dan W.A. Zakaria. 1995. Pengembangan Agribisnis di Propinsi Lampung dalam Era Pasca GATT. Jurnal Sosial Ekonomika Vol. 1 No. 1 Juni 1995. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.
  • Lukman, A. 1993. Kebijakan Industri dalam Pengembangan Agroindustri. Makalah Seminar Sehari Prospek, Antisipasi dan Peranan Mahasiswa dalam Pembangunan Agroindustri pada PJPT II. Bandar Lampung. 11 hal.
  • Moelgini, Y. 1993. Antisipasi Perguruan Tinggi terhadap Pengembangan Agroindustri. Makalah Seminar Sehari Prospek, Antisipasi dan Peranan Mahasiswa dalam Pembangunan Agroindustri pada PJPT II. Bandar Lampung. 11 hal.
  • Soeharjo, A. 1990. Konsep dan Ruang Lingkup Agroindustri. Institut Pertanian Bogor.
  • Soekartawi.1991. Agribisnis, Teori dan Aplikasinya. Rajawali Press. Jakarta. 206 hal.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar